Laman

Rabu, 30 Maret 2011

Hidup adalah

Hidup adalah tantangan, hadapilah...
Hidup adalah anugerah, terimalah...
Hidup adalah pertandingan, menangkanlah...
Hidup adalah tugas, selesaikanlah...
Hidup adalah cita-cita, capailah...
Hidup adalah misteri, singkapkanlah...
Hidup adalah kesempatan, ambillah...
Hidup adalah lagu, nyanyikanlah...
Hidup adalah janji, penuhilah...
Hidup adalah keindahan, bersyukurlah...
Hidup adalah teka-teki, pecahkanlah..

5 Kualitas Pensil

Melihat Neneknya sedang asyik menulis Adi bertanya, "Nenek sedang menulis apa?"

Mendengar pertanyaan cucunya, sang Nenek berhenti menulis lalu berkata, "Adi cucuku, sebenarnya nenek sedang menulis tentang Adi. Namun ada yang lebih penting dari isi tulisan Nenek ini, yaitu pensil yang sedang Nenek pakai. Nenek berharap Adi dapat menjadi seperti pensil ini ketika besar nanti."

"Apa maksud Nenek bahwa Adi harus dapat menjadi seperti sebuah pensil? Lagipula sepertinya pensil itu biasa saja, sama seperti pensil lainnya," jawab Adi dengan bingung.

Nenek tersenyum bijak dan menjawab, "Itu semua tergantung bagaimana Adi melihat pensil ini. Tahukah kau, Adi, bahwa sebenarnya pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup."

"Apakah Nenek bisa menjelaskan lebih detil lagi padaku?" pinta Adi

"Tentu saja Adi," jawab Nenek dengan penuh kasih

"Kualitas pertama, pensil dapat mengingatkanmu bahwa kau bisa melakukan hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kau jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkahmu dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan Tuhan, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya".

"Kualitas kedua, dalam proses menulis, kita kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil yang kita pakai. Rautan itu pasti akan membuat pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, pensil itu akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga denganmu, dalam hidup ini kau harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik".

"Kualitas ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar".

"Kualitas keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu".

"Kualitas kelima, adalah sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan. Seperti juga Adi, kau harus sadar kalau apapun yang kau perbuat dalam hidup ini akan meninggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakan".

"Nah, bagaimana Adi? Apakah kau mengerti apa yang Nenek sampaikan?"

"Mengerti Nek, Adi bangga punya Nenek hebat dan bijak sepertimu."
Begitu banyak hal dalam kehidupan kita yang ternyata mengandung filosofi kehidupan dan menyimpan nilai-nilai yang berguna bagi kita. Semoga memberikan manfaat.


Sumber   : bungacerita.blosgpot.com






Selasa, 29 Maret 2011

Aku Tidak Berharga

Seperti orang lainnya, aku juga punya mimpi.
Sebuah mimpi yang sangat indah. Mimpi yang tetap hanya sebagai mimpi.
Aku tidak mampu mewujudkannya. Malah aku tidak punya kemampuan apa-apa.
Apapun yang kulakukan hanya akan membuahkan kegagalan.
Aku tidak berharga. Aku tidak berharga.
Hanya sebutir debu yang tidak berarti di tengah gemerlap dunia.
Biarlah mimpiku berakhir sampai di sini. Aku tidak ingin jatuh lebih keras.
Saatnya meringkuk dalam kegelapan. Sendirian. Hingga diriku lenyap tanpa bekas.

Mungkin seperti itulah sebagian orang memandang hidup. Banyak sekali orang yang memandang hidup dengan begitu gelap. Mereka menganggap dirinya begitu tidak berharga. Akhirnya mereka kehilangan semangat hidup.
Benarkah saya tidak berharga? Tentu saja diriku berharga. Setiap orang terlahir sebagai pribadi yang spesial. Di dunia ini hanya ada satu-satunya aku, tidak ada satu pun orang lain yang sama persis denganku. Betul? Aku spesial, istimewa.
Lagipula, orangtua kita telah susah payah membesarkan kita dari bayi sampai sekarang. Apakah  segala jerih payah itu hanya untuk menjadikan anaknya seorang yang tidak berguna? Bukankah sebaliknya, ketika kita menganggap diri kita tidak berharga, kita telah menyia-nyiakan perjuangan orang tua kita?
Satu hal lagi yang membuat diri kita masing-masing berharga. Dalam diri kita masing-masing terdapat suatu harta karun yang sangat berharga. Apa itu? Potensi diri, bakat, talenta. Sebuah berlian yang perlu dibersihkan dari lumpur. Sebuah pedang yang perlu diasah. Seorang raksasa tidur yang menunggu dibangunkan.
Dan satu hal. Bagaimana orang lain bisa menghargai saya bila saya pun memandang rendah diri saya sendiri. Dunia tidak segitu gelapnya koq. Dunia menjadi gelap ketika saya menganggap dunia ini gelap, dan akan menjadi indah bila saya memandangnya indah. Dan saya berhak untuk memutuskan memandang dunia dari sisi yang indah.
Saya berhak untuk menjadi bahagia. Saya berhak untuk menjadi berharga. Saya berhak untuk mempunyai mimpi. Dan bila punya kemauan, sebenarnya saya mampu mewujudkan semua mimpi-mimpi saya. Sekarang, saya hanya perlu memaksimalkan setiap potensi diri saya, mengasah semua bakat yang saya miliki, membangunkan raksasa dalam diri saya. Saya bisa dan saya pasti bisa!!
Akhirnya, artikel ini saya tutup dengan penggalan lirik lagunya Mariah Carey yang berjudul “Hero” :

There’s a hero if you look inside your heart.
You don’t have to be afraid of what you are.
There’s  an answer if you reach into your soul.
And the sorrow that you know will melt away.
And then a hero come along with the strength to carry on.
And you cast your fears aside and you know you can survive.
So when you feel like hope is gone, look inside you and be strong.
And you finally see the truth that a hero lies in you
….
Siapakah sang “hero” ? Anda sendiri lah “hero” tersebut, dengan segala potensi dan keistimewaan yang anda miliki :D
 
*Dipersembahkan kepada semua pribadi istimewa yang merasa dirinya tidak berharga.


 sumber   : kisahinspirasi.com

 

3 Hal Dalam Hidup

3 hal dalam hidup yang tak pernah kembali:
1. Waktu
2. Perkataan
3. Kesempatan

WAKTU. Kita tak bisa memutar kembali waktu, tapi kita bisa menciptakan kenangan dengan waktu yang masih kita punya dan memanfaatkan waktu yang ada, walau sebentar, untuk menciptakan kenangan yang berarti. Time is free but it’s priceless, u can’t own it but u can use it. U can’t keep it but u can spend it.

PERKATAAN. Kita tak bisa menarik ucapan kasar yang keluar dari mulut kita atau statement yang telah membuat harga diri kita lebih penting dari pada menariknya kembali dan mengucapkan maaf.
Kita tak bisa menghapus caci maki yang telah kita katakan hingga membuat orang lain marah, terluka atau menangis.Tapi kita bisa membuat apa yang selanjutnya keluar dari mulut kita menjadi lebih banyak pujian dibanding caci maki, lebih banyak syukur dan terima kasih dari pada keluhan atau komplain, dan lebih banyak nasihat positif dari pada sulutan amarah.

KESEMPATAN. Kita tak bisa mendapatkan kembali kesempatan yang sudah kita lewatkan. Tapi kita bisa menciptakan peluang untuk membuat kesempatan-kesempatan lain datang dalam hidup kita dengan lebih memperhatikannya.

3 hal dalam hidup yang tak boleh hilang:
1. Kehormatan
2. Kejujuran
3. Harapan

Jika kita tidak memiliki uang, dan masih memiliki kehormatan, maka bersyukurlah karena kehormatan merupakan salah satu kekayaan yang masih berharga di mata orang lain.
Jika kita telah kehilangan kehormatan dan ingin memulihkannya, maka pergunakanlah kejujuran untuk meraih kehormatan kita kembali karena orang-orang yang jujur adalah orang-orang yang terhormat.
Jika kita telah kehilangan kehormatan karena ketidakjujuran kita, milikilah harapan bahwa suatu saat mereka akan mengerti alasan dibalik semuanya. Milikilah harapan bahwa kita bisa memperbaiki kehormatan meski dengan susah payah. Milikilah harapan bahwa meski banyak orang yang takkan lagi percaya karena kita pernah melakukan hal-hal yang tidak jujur, pada waktunya nanti, mereka akan melihat sendiri upaya kita.
Teruslah bergerak hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah berjaga hingga kelesuan itu lesu menemanimu.
Karena di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

3 hal dalam hidup yang paling berharga:
1. Keluarga
2. Sahabat
3. Cinta

Kekayaan bukan soal berapa banyak uang yang anda miliki.
Kekayaan adalah apa yang masih anda miliki saat anda kehilangan semua uang anda.
Jika anda kehilangan semua uang anda, ingatlah bahwa anda masih memiliki keluarga.
Jika anda kehilangan semua keluarga anda, ingatlah bahwa anda masih memiliki sahabat.
Jika anda kehilangan semua keluarga anda dan tak ada satu pun sahabat, maka ingatlah bahwa anda masih memiliki cinta untuk mendapatkan mereka kembali, untuk mengenang masa-masa indah bersama mereka dan untuk menciptakan persahabatan yang baru dengan kehangatan kasih yang mampu anda berikan.
If love hurts, then love some more.
If love hurts some more, then love even more.
If love hurts even more, then love till its hurt no more.


Sumber   : http://inspirasipagi.blogspot.com/

Allah Maha Pengampun Lagi Penerima Taubat

Pada suatu hari Umar bin Khathab masuk ke rumah Rasulullah SAW dalam keadaan menangis, padahal beliau terkenal orang yang keras dan kuat hati.
“Di depan pintu Rasulullah SAW ini, ada seorang pemuda yang menangis tersedu-sedu. Aku terharu melihatnya, hingga aku sendiri turut menangis.”
Rasulullah SAW berkata, “Perintahkan dia masuk!” Anak muda itu pun masuk ke rumah Rasulullah SAW dalam keadaan masih mencucurkan air mata.
Rasulullah SAW bertanya, “Apakah sebabnya engkau menangis, wahai anak muda?”
“Aku menangis mengenang dosaku yang amat banyak. Saking banyaknya, rasanya pundakku tiada kuasa lagi memikulnya.”, jawab anak muda.
Terjadilah tanya jawab antara Rasulullah SAW dengan pemuda itu.
Rasulullah SAW bertanya, “Apakah engkau menyekutukan Tuhan, syirik?”
“Tidak!” jawab pemuda.
“Kalau demikian, Tuhan akan mengampuni dosa-dosamu, walaupun dosamu itu seberat langit, bumi dan gunung,” sahut Rasulullah SAW.
“Dosaku lebih berat daripada itu lagi,” kata pemuda itu.
“Apakah dosamu itu lebih berat dari seluruh tahta?” tanya Rasulullah SAW.
“Memang, lebih berat dari itu, ya Rasulullah,” jawab pemuda itu.
Rasulullah SAW bertanya lagi, “Apakah lebih berat daripada Arsy?”
Jawab pemuda itu, “Lebih berat lagi!”
“Apakah dosamu itu lebih berat dari Tuhanmu sendiri, yang mempunyai sifat pengampun dan penerima taubat?” sahut Rasulullah SAW.
Jawab pemuda itu, “Tidak ya Rasulullah, ampunan Tuhan lebih berat daripada dosaku. Tidak ada sesuatu yang lebih berat daripada ampunan Tuhan.”
Tanya Rasulullah SAW, “Terangkanlah dosa yang telah engkau lakukan itu, dan jangan engkau segan dan merasa malu-malu.”
Akhirnya, anak muda itu menerangkan, “Saya bekerja sebagai penjaga kuburan, sudah tujuh tahun lamanya. Pada suatu hari, meninggal seorang budak perempuan milik seorang golongan Anshar, dan dikuburkan di pemakaman yang saya jaga itu. Saya digoda oleh iblis sehingga diwaktu malam aku bongkar kuburan itu kembali. Saya curi kain kafan yang membalut mayat wanita itu. Kemudian saya meninggalkan tempat itu.
Pada suatu ketika yang lain, saya berjalan kembali ke dekat kuburan itu. Tiba-tiba wanita yang sudah mati itu bangkit dari kuburnya dan berkata kepada saya dengan suaranya yang lantang, “Celakalah engkau hai anak muda! Tidakkah engkau melakukan perbuatan kejam terhadap seorang wanita yang tidak berdaya lagi? Sampai hatikah engkau membiarkan aku menghadap Tuhan dalam keadaan telanjang?”
Mendengar keterangan itu, maka Rasulullah SAW sangat marah seraya berkata, “Engkau memang seorang yang fasik dan akan masuk neraka!”
Seketika itu juga beliau mengusir anak muda itu. Dengan gemetar tetapi masih dalam keadaan kesadaran, anak muda itu menyesali perbuatannya itu tiada putus-putusnya. Setiap malam ia berkhalwat dan tak habis-habisnya menyesali perbuatannya yang zalim itu.
Dia selalu memohon do’a kepada Tuhan, “Ya Tuhanku, aku menyatakan taubat dari perbuatan yang sesat itu. Jika Engkau, ya Tuhan, masih memberikan ampunan atas dosa yang aku perbuat itu, maka sampaikan hal itu kepada Rasulullah SAW. Jika dosaku itu memang tidak Engkau ampuni lagi, maka turunkanlah api dari langit untuk membakar kulitku sehingga aku menjadi hangus, sebagai balasan atas dosa yang aku lakukan itu.”
Sementara tidak berapa lama, kemudian Malaikat Jibril menyampaikan kepada Rasulullah SAW wahyu yang menyatakan bahwa Tuhan mengampuni dosa anak muda itu, sebab taubatnya itu dilakukan dengan tulus ikhlas.
Setelah wahyu turun, maka Rasulullah SAW memanggil anak muda itu menyampaikan kepadanya berita yang menggembirakan itu.

Belajar Dari Si Renta Bungkuk Yang Tak Meminta

Bagi kita yang mau berpikir, tidak ada yang sia-sia dari apa yang telah diciptakanNya di bumi dan di langit ini. Segala sesuatunya menyimpan "pesan" yang harus kita cari. Bahkan tidak hanya sekadar dicari, melainkan dijadikan cermin bahkan sandaran untuk kita bisa berpijak.

Sama halnya di setiap perjalananku menyusuri keramaian-keramaian jalan, atau meski hanya sekadar nongkrong di pinggiran jalan sembari menikmati jajanan kecil, setidaknya akan ada banyak cerita jika kita mau cermati dari setiap keadaan yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasa, apapun itu.

Mencoba membuka kembali ingatan beberapa waktu yang silam. Berturut-turut dipertemukan dengan penjual sayur keliling di ramainya lalu lalang kendaraan. Mungkin biasa saja dengan jenis pekerjaannya, tapi yang menjadi pusat perhatian yang menyebabkan mataku tak berkedip atau memalingkan kepalaku ke arah lain adalah kondisi si penjual sayur.

Di tiga hari pertama, hanya bisa melihatnya saja sepanjang motorku melewatinya sambil sesekali memerhatikan bagaimana kondisinya. Selang beberapa hari berikutnya, ada keinginan hati untuk memberhentikan laju motorku dan diam di pinggir jalan sembari menunggunya lewat ke hadapanku. Setelah dia mendekat, semakin jelas terlihat keadaannya, mengkhawatirkan.

Tergerak seketika, teman kerjaku mengepalkan lembaran uang sepuluh ribuan untuknya, bukan sekedar karena merasa iba atas kondisinya, tapi semangatnya di saat dia renta dan tak lagi tegak untuk berdiri, di saat jalannya yang tak lagi lancar tapi terpapah-papah, tidak lantas menjadikan dia dengan mudahnya menengadahkan tangan hanya untuk meminta belas kasihan orang dengan meminta-minta.

Jalanan panjang dia susuri di teriknya siang, tak mempedulikan bunyi klakson motor karena merasa terhalangi oleh lambatnya dia berjalan. Berjalan terus mencari orang yang mau membeli barang dagangannya sembari sesekali menyeka keringatnya, begitu mengkhawatirkan.

Tapi di sisi lain, ada banyak orang yang begitu mudah meminta-minta belas kasihan orang dengan cara-cara yang tidak baik. Segala cara dilakukan meskipun itu merendahkan dirinya sendiri demi mendapatkan uang, padahal kondisi fisik mereka pun sehat dan kuat.

Ada banyak "pesan"-Nya yang bisa kita ambil dari pertemuan tak sengaja ini. Boleh jadi kita yang kuat untuk berdiri tegak hanya mempergunakan waktu dengan bermalas-malasan saja, kita yang bekerja di tempat yang nyaman tidak memberikan kotribusi terbaik untuk masyarakat banyak. Kita yang sehat, kuat dan difasilitasi barang-barang yang agak 'wah' terkadang lupa untuk bersyukur, meski sekadar mengingat mereka di luar sana yang kekurangan, pun sekedar ber-perceptual position dengan menjadikan diri kita adalah mereka, agar kita tahu bahwa kita masih hidup dalam kelayakan.

Lihat, dengar dan rasakanlah. Perjalananku mungkin hanya sekedar perjalanan biasa, tapi yakini di setiap perjalanan manusia akan selalu ada "pesan" yang harus kita cari. Semoga tak menjadi sebuah kesalahan ketika ku tulis ulang apa yang aku lihat, aku dengar, dan aku rasa. Bacalah, semoga ada hikmah untuk perjalanan kita selanjutnya.


rida - andriewongso.com

Hamba Yang Banyak Celanya

Syeikh Abdurrahman AI-Muhazzab bercerita pula:
Sekali peristiwa ketika saya pergi untuk membeli-belah di pasar, saya melalui pasar hamba, dan saya terlihat di sana ada seorang saudagar yang sedang menawarkan seorang hamba, yang usianya masih keeil lagi, katanya berulang kali:
‘Siapakah ingin membeli hamba yang banyak celanya ini?’ Kemudian diulangi lagi kata-kata itu berkali-kali. Sudah tentulah tidak ada orang yang mahu membelinya. Saya lalu menghampiri saudagar itu seraya bertanya kepadanya: ‘Apakah cela hamba ini?’
Saudagar itu tidak menjawab, tetapi disuruhnya saya sendiri menanyakan hamba itu tentang keaibannya. Maka saya merenung wajah hamba itu, lalu bertanya kepadanya pula:
‘Apa cela yang ada padamu itu?’
‘Cela hamba sangat banyak,’ jawab hamba itu. ‘Akan tetapi saya sendiri tidak mengerti cela yang mana satu yang dimaksudkan oleh tuan pemilikku, sehingga dia memberiku gelaran sebagai hamba yang paling banyak celanya.
Saya berpaling semula kepada pemilik hamba itu dan bertanya sekali lagi: ‘Cela yang mana satu yang tuan maksudkan?’
‘Mmm, hamba ini mengidap penyakit gila,’ jawab saudagar itu. ‘Penyakit gila?’ Saya merenung wajah saudagar itu. Dalam hatiku mengatakan tidak mungkin. Orang gila tak akan begini jawabnya.
‘Betulkah engkau mengidap penyakit gila?’ tanyaku ingin tahu. ‘Begitulah seperti kata tuan pemilikku,’ dia menjawab penuh ragu dan tidak jelas.
‘Kalau betul pun, pada saat apakah penyakit itu datang?’ tanyaku lagi. ‘Adakah setiap hari, atau setiap minggu, atau sebulan sekali? Tolonglah terangkan!’
‘Tuan, bila penyakit itu menggusir di hati hamba, maka berjalanlah la ke seluruh anggota badanku, kemudian ke dalam jiwaku. Maka ketika itu akan berubahlah akalku, kemudian tanpa kurasakan lagi lisanku menyebut-nyebut nama yang paling kucinta’. Akhirnya penyakit itu membuat hatiku benar-benar terpancang kepadaNya. Sementara itu badanku tidak bergerak sedikit pun. Maka dengan sebab itulah, orang bodoh yang melihatku dalam keadaan demikian akan menuduhku ‘orang gila’, sedang aku sendiri tidak memahami rnengapa orang boleh mengatakan begitu, kerana mungkin dia tidak pernah mengalami apa yang pernah aku alami itu.’
Mendengar apa yang dikatakan oleh hamba itu, teringat di dalam hatiku, bahawa dia termasuk di antara kekasih Allah. Orang ‘bodoh’ seperti yang diungkapkan hamba itu memang mementingkan kulit saja, tidak kenal isi. Saya Ialu mendekati pemiliknya dan bertanya: ‘Berapakah harganya?’
‘Dua ratus dirham,’ jawabnya mahu tak mahu. ‘Nah’ ini dua ratus dirharn harganya,’ sambil menghulurkan wang itu, ‘dan ini dua puluh dirham lagi, aku tambah untukmu,’ kataku lagi.
Saya pun mengajak hamba itu pulang ke rumah. Tiba di rumah, saya menyuruhnya masuk, tetapi rnulanya ia enggan, seraya bertanya:
‘Tuan tidak rnempunyai keluarga?!’ dia bertanya kepadaku. ‘Ada,’ ‘jawabku pendek.
‘Maaf,’ katanya, ‘tidak boleh seseorang itu bertemu dengan selain keluarganya sendiri.’
‘Tidak mengapa, aku benarkan kau masuk ke dalam, kataku lagi.
‘Semoga Allah memelihara hamba dari segala dosa,’ ujarnya.
‘Tidak mengapalah, biar hamba duduk di luar saja. Sekiranya tuan memerlukan sesuatu, hamba bersedia untuk rnengerjakannya tanpa memasuki rumah.’
Bagaimana hamba ini? Aku ingat di dalam hati. Kelihatannya dia terlalu warak dan menjaga selok-belok agamanya dengan baik. ‘Baiklah, kalau begitu! jawabku kepadanya.
Saya terus memasuki rumah untuk mengambil makanan dan minuman untuk memberikannya kepada hamba itu, tetapi ia menolaknya dengan alasan ia sedang berpuasa. Pada waktu malam, hamba itu berada sendirian di kamarnya di luar rumah. Saya lihat senyap sahaja tiada berbunyi. Maka pada tengah malam saya keluar untuk mengintipnya, dan saya dapati ia sedang bersholat dengan khusyuknya. Dia tidak sedar saya sedang mengintipnya. Selesai dari sholat ia terus sujud menangis serta berdoa.
‘Ya Allah! Ya Tuhan hamba! Semua raja telah menutupi pintu rumahnya, namun pintu Tuan sajalah yang tetap terbuka luas bagi siapa yang ingin memintamu! ‘Ya Tuhan! Bintang-bintang di langit semuanya berkelip-kelipan, mata-mata insan pula sedang tertutup kerana nyenyak dalam tidur, namun Dikaulah Zat yang sentiasa sedar selamanya, tidak pernah mengantuk atau tidur.
‘Ya Allah! Kalau ada seorang sedang berkumpul dengan kekasihnya, maka Dikaulah kekasih bagi orang yang benar-benar mengenal cinta.
‘Ya Allah! Kalau Tuan mengusir hamba, ke manakah hamba akan pergi.
‘Ya Allah! jika Tuan menjauhkan hamba dari pintuMu, siapakah hamba akan mengetuk lagi?
‘Ya Allah! jika Tuan akan menyiksa hamba, memang sepantasnyalah, sebab hamba tergolong orang-orang yang berdosa. Namun, Jika Tuan memberi maaf, memanglah Tuan adalah Maha Pemaaf dan Belas-kasih kepada semua hambaMu, kerana Dikaulah Maha Dermawan!’
Sesudah itu, anak itu bangun dari sujudnya seraya menangis, lalu mengangkat kepalanya lagi dan berdoa:
‘Ya llahi! KepadaMulah siapa yang dekat denganmu beramal. Dengan kurnia Tuan, selamatkanlah hamba-hambamu yang salih dari kebinasaan. Dengan rahmat Tuan, sedarkanlah hamba-hambamu yang tersesat supaya kembali ke jalan yang lurus. Wahal Zat yang Baik! Berilah hamba kemaafan, berilah hamba maghfirah dan keampunan, sesungguhnya Tuan adalah Zat Pemberi maaf terhadap segala kesalahan hambanya!’ Mendengar doa hamba itu, tidak terbayangkan lagi keharuan di hatiku, lalu saya meninggalkan tempat itu, supaya tidak mengganggu kekusyukan hamba itu. Pagi-pagi saya datang untuk menemuinya dan bertanya sapa kepadanya. Saya memberi salam kepadanya seraya bertanya:
Anakku! Bagaimana tidurmu semalam, tenangkah?’ saya pura-pura tanya tidak tahu.
‘Bolehkah tidur mata yang benar-benar takutkan api neraka?’ tanya dia kembali kepadaku.
‘Lagi,’ kataku hendak mendengar seterusnya.
‘Bolehkah tidur mata yang selalu mengingat perhitungan amal di Mahsyar nanti, serta membayangkan saat dan ketika dihadapkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa?’ hamba itu kemudian menangis terisak-isak.
‘Anakku! Aku merdekakan dirimu semata-mata kerana Allah,’ kataku kepadanya.
Dia tidak menjawab, tetapi justeru dia semakin menangis. Tidak lama kemudian ia berkata pula: ‘Tuan!’ katanya kepadaku. ‘Hamba dulu mendapat dua pahala, iaitu pahala beribadah dan pahala melayani tuan. Kini satu daripadanya sudah dibebaskan, tinggal satu lagi, iaitu beribadat kepada Tuhan.’ ‘Ya, saya faham maksudmu itu, sebab itu saya merdekakanmu,’ kataku kepadanya lagi.
‘Terima kasih, dan semoga Allah menyelamatkan tuan dari api neraka!’ doanya untukku pula.
Saya pun memberinya wang untuk keperluannya, dan membenarkan dia pergi, kerana dia sudah menjadi orang merdeka sekarang, Dia lalu mengucapkan setinggi terima kasih lagi kepadaku, tetapi wang yang kuberikannya itu ditolaknya sambil berkata:
‘Tuhan yang memberiku rezeki sewaktu hamba di perut ibu, Dialah nanti yang akan menanggung rezeki hamba saat hamba berada di atas buminya ini!’ Hamba itu kemudian pergi meninggalkanku, dan sesudah itu saya tidak pernah lagi bertemu dengannya. ‘Ya Allah! Berilah hambamu ini taufiq dan hidayah, sebagaimana Dikau telah menganugerahkannya kepada para kekasih dan orang pilihanmu, Amin.